Bermimpi itu mudah, ibarat mengedipkan mata atau membalikkan telapak tangan. Namun, mewujudkan mimpilah yang tidak mudah, penuh perjuangan dalam menghadapi setiap proses. Terkadang hadir rasa lelah, putus asa, ingin menyerah, dan khawatir. Tapi, biarlah tekad dan semangat lebih besar dari segala keraguan tersebut.
Begitu juga dengan Levin… yang saat
ini sedang berada di tengah proses menuju mimpi. Levin atau lengkapnya Levina
Ariesta, baru saja lulus dari SMA yang terkenal elit di kotanya. Tapi apakah
teman-teman dapat menebak cita-cita yang diimpikannya? Sesungguhnya, Levin
ingin menjadi seorang pemandu wisata atau penerjemah di Negeri Tirai Bambu.
Sederhana dan terlihat menyenangkan memang. Namun beberapa orang memandang
cita-citanya ini buruk, tidak bermanfaat, dan tidak menghasilkan uang yang banyak.
Termasuk kedua orangtuanya pun memandang cita-cita Levin ini adalah pilihan
yang buruk. Mereka ingin Levin menjadi seorang dokter yang sukses dan
menghasilkan banyak uang. Sebenarnya, Levin terlahir di tengah keluarga yang
cukup berada dan di antara sanak sepupunya belum ada yang berprofesi sebagai
dokter dan itulah alasan kedua orangtuanya menuntut Levin agar menaati
keinginan mereka untuk menjadi seorang dokter.
Walau begitu, hambatan dari kedua
orangtua tak mematahkan tekad Levin untuk menjadi seorang pemandu wisata dan
penerjemah yang fasih berbahasa Mandarin. Sejak SMP, tanpa sepengetahuan kedua
orangtuanya, Levin mulai belajar Bahasa Mandarin dari Laoshi(baca:guru) di sekolahnya ―sekarang dia memanggilnya Cici, karena usia Levin dengan guru
mandarinnya hanya berbeda 8 tahun― sampai sekarang, setelah lulus pun, Levin
masih berlatih sehingga kemampuannya semakin bagus, baik dalam percakapan
maupun tulisan. Untungnya, Levin mendapat perhatian khusus dari Laoshi-nya ini sehingga Levin tidak
perlu mengeluarkan biaya untuk belajar Mandarin. Lee Laoshi atau yang sering Levin panggil dengan panggilan Cici Liana ini melihat potensi yang
besar di dalam diri Levin. Liana menyadari bahwa dalam mempelajari Bahasa
Mandarin, kemampuan Levin jauh di atas rata-rata. Oleh karena itu, Liana dengan
senang hati mengajar Levin tanpa biaya. Liana juga mengerti keadaan yang sedang
Levin alami, seringkali setelah kelas selesai, Levin menceritakan kejadian yang
ia alami, tentang pergumulannya menentukan masa depan yang ia impikan. “Ci, jujur saja.. saat ini, aku bingung.
Sebagai seorang anak, aku ingin sekali membuat mama dan papaku bangga. Tapi,
aku ingin mereka bangga dengan hasil pekerjaanku.. pekerjaan yang aku sukai dan
aku impikan. Sedangkan saat ini papa selalu memaksa agar aku segera
mendaftarkan diri ke jurusan kedokteran, jurusan yang tidak aku sukai,
jangankan suka.. mengerti saja tidak..” ujar Levin sembari merapikan alat tulis
dan buku kemudian memasukkannya ke dalam tas les. “Lev, kamu pernah dengar
tidak pepatah Mandarin yang berbunyi ‘Yīdàn
nǐ zuò de shì, bùyào pà shībài, bùyào líkāi tā. Shuí yǐ chéng gōngzuò de rén
shì tāmen zuì kuàilè ― sekali kamu mengerjakan sesuatu, jangan takut gagal
dan jangan tinggalkan itu. Orang-orang yang bekerja dengan ketulusan hati adalah
mereka yang paling bahagia ― Jadi, teruslah semangat.. perjuanganmu untuk
menjadi seorang penerjemah Mandarin tentu tidak mudah. Tapi jangan lupa.. kita
punya Tuhan yang telah memiliki rencana terbaik untuk hidup manusia, khususnya
untukmu.” Sebagai pendengar sekaligus teman yang satu-satunya mengerti keadaan
Levin, Liana memberikan semangat agar Levin terus berjuang dan selalu
mengingatkan bahwa sebagus apa pun rencana yang sudah dibuat mengenai hidup
seseorang, tidak akan ada artinya kalau Tuhan tidak menghendaki.
Namun siapa sangka, ketika Levin
sedang dalam perjalanan pulang dari tempat Les Mandarin, mobil hitam milik Ayah
Levin melintas dan berhenti tepat di samping Levin yang sedang menuntun
sepedanya. “Levin! Sini, kemari!” Teriak Ayah Levin. “Ah tidak, ya Tuhan tolong
aku.. apakah aku akan ketahuan?” tanya Levin dalam hati. Dengan perlahan, Levin
datang menemui ayahnya. “Dari mana saja kamu? Bukankah seharusnya kamu ada di
rumah sekarang?.. Lalu, buku apa yang ada di tasmu itu.. Bawa sini! Papa mau
lihat.” Setelah melihat isi tas Levin yang di dalamnya terdapat buku-buku
Mandarin, akhirnya.. tahulah ayahnya bahwa selama ini Levin diam-diam belajar
Bahasa Mandarin.
Sesampainya di rumah, Orangtua Levin
marah besar, khususnya sang ayah, karena merasa dibohongi oleh Levin. Dan
terjadilah suasana yang menegangkan di ruang keluarga karena perdebatan antara
ayah dan anak yang tak kunjung henti. Hingga puncaknya, Levin yang selama ini
memendam semua perasaannya berani berbicara “Pah.. apakah papa sungguh-sungguh
menyayangi Levin? Kalau iya, mengapa papa ingin Levin mempelajari sesuatu yang
tidak Levin sukai..?” “Apa maksudmu kedokteran? Kedokteran adalah pilihan yang
terbaik, Levin! Kamu harus tahu bahwa papa baru saja mendaftarkanmu ke
Universitas terbaik di Indonesia. Kalau kamu tidak setuju, kamu boleh keluar
dan menekuni bahasa asingmu itu. Tetapi, ingat! Papa atau mama tidak akan
pernah memberikan biaya sepeser pun kepadamu. Kamu harus keluar dari rumah ini
dan mencari penghasilan sendiri, kami hanya akan menerimamu jika kamu setuju
untuk mengambil jurusan kedokteran!” Ancaman yang begitu dahsyat benar-benar
menimpa Levin. Ia tidak menyangka kalau ayah yang sangat disayanginya begitu
ambisius agar dirinya menjadi seorang dokter. Mimpinya yang selama ini selalu
ia naikkan dalam doa-doanya kepada Tuhan seakan runtuh begitu saja, tenggelam
ditelan jurang yang begitu dalam, mustahil untuk diraih. Karena selama ini,
hidup Levin bergantung pada orangtua, mau tidak mau, suka tidak suka, alhasil..
Levin harus menaati kedua orangtuanya untuk mempelajari dunia keokteran walau
bidang ini sama sekali tidak sesuai dengan keinginan hatinya. Tetapi, dalam
diam, ia terus berseru dalam doa kepada Tuhan, menceritakan segala hal yang
terjadi, segala hal yang ia rasakan, karena ia percaya suatu hari nanti Tuhan
akan memberikan masa depan yang indah baginya.
Waktu telah berlalu.. Hari berganti bulan.. Bulan berganti
tahun.. Tak terasa, sudah empat tahun Levin menekuni bidang kedokteran. Akan tetapi,
walaupun sudah belajar dengan sebaik mungkin, hasil ujian Levin tetap di bawah
rata-rata karena tidak sesuai dengan hati kecilnya. Selain nilai, kepribadiannya
juga berubah. Levina Ariesta yang sebelumnya adalah seorang anak yang ceria dan
humoris berubah menjadi gadis yang pemurung, kurang semangat, dan suka
menyendiri. Sang ibu yang sering memperhatikan dirinya, sedih melihat keadaan
anak semata wayangnya ini terlihat menyedihkan. Akhirnya mulai tergeraklah hati
sang ibu untuk mendukung Levin kembali mempelajari hal yang telah lama Levin
mimpikan, yaitu Bahasa Mandarin.
Pada malam hari, ibu pergi ke kamar Levin untuk
memberikan dukungan semangat padanya agar kembali seperti dulu. Ketika memasuki
kamar, ternyata Levin telah tertidur lelap. Sambil memandang anak gadisnya,
sang ibu duduk di tepi kasur dan menyelimuti Levin, kemudian berkata “Levin..
maafkan mama, nak. Selama ini mama merasa bersalah.. telah membebani kamu untuk
melakukan hal yang bukan berasal dari hatimu. Teruslah semangat dalam menggapai
mimpimu, nak. Mulai sekarang mama akan terus mendukungmu, apa pun yang akan
terjadi.. Mama tidak ingin anak mama yang mama sayang menjadi pemurung dan
tidak semangat.. Mama ingin kamu sukacita dalam menjalani hidupmu.” Usai
mengatakan demikian, ibu Levin menatap meja belajar dan menemukan ada dua map
yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Map pertama berisi hasil ujian
kedokteran milik Levin yang nilainya buruk, sungguh-sungguh di bawah rata-rata,
sedangkan map kedua berisi sertifikat Olimpiade Mandarin tingkat Internasional.
Melihat hal tersebut, ibu Levin sangat terkejut akan perbandingan prestasi
anaknya. Betapa hancur hati sang ibu menyadari bahwa selama empat tahun Levin
rela mengabulkan permintaan kedua orangtuanya untuk mempelajari kedokteran,
padahal jurusan ini adalah jurusan yang di luar kemampuan Levin. Akan tetapi,
yang mengherankan adalah sertifikat Olimpiade Mandarin yang dimiliki oleh
Levin. Tertulis di dalam sertifikat tersebut, Levin meraih juara 1 dan
mendapatkan uang tunai sebesar lima puluh juta rupiah. Ayah dan ibunya tidak
mengetahui bahwa Levin pernah mengikuti Olimpiade Mandarin karena mereka selalu
bekerja dan jarang sekali ada di rumah. Sehingga kabar ini menjadi kabar yang
membanggakan bagi sang ibu. Segera setelah mengetahui hal ini, ibu keluar dari
kamar Levin sambil membawa map yang berisi sertifikat Olimpiade untuk
menunjukkannya pada suaminya.
“Pah… lihat ini! Coba kamu buka!” Suara ibu yang
bersemangat menggungah rasa penasaran ayah Levin yang sedang duduk di kamar. Maka
dibukanyalah map tersebut dan betapa terkejut sang ayah ketika melihat
sertifikat yang terdapat di dalam map tersebut. Melihat suaminya terdiam, ibu
berkata “Pah.. apakah kamu tidak menyadarinya? Selama ini Levin berubah jadi
anak yang pemurung dan jarang berbicara. Ini pasti karena permintaan kita agar
dia menjadi dokter membuat segala yang dikerjakannya seakan menjadi beban untuk
Levin. Kasihan dia..” Mendengar istrinya berbicara seperti itu, hati sang ayah mulai
tergerak namun tetap terdiam. “Bagaimana menurutmu..? Lebih baik kita biarkan
anak kita menikmati hidupnya dengan sukacita.. biarkan dia menjalani sesuatu
yang ia impikan dari dulu.. toh selama ini yang ia lakukan selalu hal yang baik
dan benar.” Tak kuasa menahan tangis, dengan perlahan, jatuh setetes air mata
sang ayah. “Baiklah.. kita bicarakan ini besok bersama Levin, ya. Saat ini
lebih baik kita beristirahat.” Ucap sang ayah sambil memeluk istrinya. Keduanya
pun tertidur, larut dalam kesunyian.
Esok pun tiba. Matahari menyambut dengan hangat,
disertai udara yang begitu sejuk. Tak ada hujan, tak ada mendung. Pagi
mengawali hari dengan suasana yang membuat hati begitu teduh. Levin yang sudah
bangun dan siap berangkat menuju kampus tertahan sekaligus heran melihat kedua
orangtuanya yang tersenyum hangat pada dirinya. “Selamat pagi, nak. Sini duduk.
Papa dan mama ingin berbicara denganmu sebentar saja.” Ketiganya pun duduk di
ruang keluarga yang cukup luas, ditemani cahaya mentari yang menembus kaca
jendela, seakan ikut hadir menemani. “Jadi begini..”Ayah mengawali. “..
Semalam, papa dan mama sudah memutuskan.. agar kamu tidak perlu lagi kuliah kedokteran,
melainkan wujudkanlah mimpimu untuk menjadi penerjemah bahasa di Beijing.” Mendengar penjelasan ayahnya
secara tiba-tiba, Levin terpana.. tidak menyangka bahwa ayahnyalah yang berkata
demikian. “Apa yang membuat papa dan mama berkata seperti ini? Aku tidak akan
diusir, kan?” Pertanyaan Levin membuat mama dan papanya tertawa kecil, “tidak,
nak. Kami sudah memahami perjuanganmu untuk meyakinkan kami bahwa mimpimu tidak
main-main. Kami sudah tahu kalau kamu mengikuti Olimpiade Mandarin di Singapore
sebulan yang lalu. Jadi, apakah kamu masih mau menerima tawaran kami? Masalah
biaya tidak perlu dipikirkan, nak. Kamu adalah kesayangan kami. Semua yang kamu
butuhkan, akan kami beri asalkan kamu terus semangat dan berkarya dalam meraih
cita-citamu.” Jawab sang ayah.
Levin menangis, memeluk kedua orangtuanya. Levin menyadari
bahwa ia tidak sendirian. Selama ini ia bergumul dalam doanya kepada Tuhan, memohon
kekuatan dan pertolongan Tuhan dalam menjalani perkuliahannya. Tak disangka
bahwa memang benar, rencana Tuhan adalah yang terbaik. Levin sangat bersyukur
akan kebaikan Tuhan sehingga kini orangtuanya dapat menerima Levin dalam
menentukan masa depannya. Oleh karena itu, Levin tidak perlu lagi menempuh
studi kedokteran, melainkan melanjutkan pendidikan Sastra Mandarin langsung di
negara impiannya.. Beijing. Kabar sukacita
ini juga diterima oleh Liana sebagai guru Mandarin sekaligus Cici bagi Levin. Tanpa menunggu lama,
Liana segera menyiapkan tempat tinggal untuk Levin dan menemani Levin selama
tinggal di Beijing. Karena setelah
Levin berhenti les Mandarin empat tahun lalu, Liana pindah ke Beijing untuk bekerja di sebuah perusahaan
besar sebagai ahli Bahasa. Akhirnya, Levin mewujudkan mimpinya sebagai penerjemah
juga pemandu wisata di negeri impiannya. Dalam mewujudkan mimpi, hambatan pasti
ada, tantangan yang besar pun selalu hadir, tapi.. Jangan lupa! Kamu tidak
sendiri..Tangan Tuhan selalu beserta dan selalu membimbingmu menghadapi setiap
rintangan. Tetaplah kuat dan jangan menyerah dalam mencapai mimpimu! Tuhan
memberkati!
Wawwww bellaaaa ceritanya selalu inspiratif bangett+relatee bgt samaa dunia nyataa HAHAHAH kasian bgt Levinnn kuliah capek2 4 tahun woiii😭😭😭
BalasHapusMakasiii Lidyaaa.. iya, kadang kenyataan gak berjalan mulus sesuai ekspetasi.. huhu
HapusCeritamu keren!
BalasHapusPuji Tuhan.. Terima kasih Ms Lily
Hapus